Berakhirnya Era Orde Baru di Indonesia membawa
banyak perubahan pada tatanan sosial-politik di negara ini. Perubahan tersebut
tidak lepas dari semangat untuk terlepas dari sejarah uniformalisme Orde Baru.
Dipahami bersama, bahwa pemerintah Orde Baru atas nama pembangunan
mengedepankan tiga stabilitas negara, yaitu stabilitas politik, ekonomi, dan
keamanan. Demi mempertahankan ketiga stabilitas tersebut pemerintah Orde Baru
melakukan berbagai upaya yang dampaknya pada penyeragaman berbagai aspek
kehidupan bangsa, termasuk pendidikan.
Dalam dunia pendidikan, kita melihat bahwa pemerintah Orde Baru
menerapkan sistem sentralisasi (centralized system). Hal ini berimplikasi pada
kewenangan mutlak pemerintah pusat dalam pengelolaan berbagai aspek pendidikan,
antara lain berupa sistem pendidikan, kurikulum, sumber daya manusia, pengadaan
media dan sumber belajar, hingga anggaran pendidikan. Walhasil, pemerintah
daerah dan institusi pendidikan tidak memiliki ruang untuk berkreasi dan
berinovasi untuk mengembangkan pendidikan di lingkungannya masing-masing.
Sistem sentralisasi dalam dunia pendidikan di
Indonesia berakhir seiring dengan berakhirnya Era Orde Baru. Ini menandakan
betapa pendidikan tidak bisa terlepas dari dunia politik. Era Reformasi membuka
lembaran baru pengelolaan pendidikan di Indonesia. Pada Era ini, kita mengenal
sistem pendidikan yang desentralistik (decentralized system). Sistem ini
mengurangi kewenangan pemerintah pusat dalam pengelolaan pendidikan, dan
memberikan otoritas lebih besar kepada pemerintah daerah sehingga institusi
pendidikan menjadi penentu masa depan anak-anak bangsa.
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
Menurut Kamisa (1997:445), reformasi
berarti perubahan radikal untuk perbaikan dalam bidang sosial, politik atau
agama dalam suatu masyarakat atau negara.
Dan menurut Nurkholis (2003:32), istilah
reformasi sering dipersamakan dengan revolusi. Akan tetapi kunci pokok yang
membedakan reformasi dengan revolusi adalah tidak adanya kekerasan dalam
mengubah sistem dan tatanan yang sudah ada. Jadi, reformasi dijalankan secara
lebih sistematis, terprogram, dan manusiawi.
Sedangkan menurut Rich (1988:2),
reformasi juga berarti memperbaiki atau menyempurnakan dengan membuat sesuatu
yang salah menjadi benar. Jadi, reformasi berimplikasi pada mengubah sesuatu
untuk menghilangkan yang tidak sempurna menjadi lebih sempurna.[1]
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa
beberapa karekteristik reformasi dalam bidang tertentu, yaitu adanya keadaan
yang tidak memuaskan pada massa lalu, keinginan untuk memperbaikinya pada masa
yang akan datang, adanya perubahan besar-besaran, adanya orang yang melakukan
reformasi, adanya pemikiran atau ide-ide baru, adanya sistem dalam suatu
institusi tertentu baik dalam skala kecil seperti sekolah maupun skala besar
seperti negara.
Membicarakan otonomi pendidikan dalam
kerangka otonomi daerah sama dengan membicarakan dua dunia yang berbeda tetapi
tidak bisa dipisahkan. Pendidikan yang merupakan produk budaya dikaji secara
bersamaan dengan otonomii daerah yang masuk wilayah dunia politik dan
kekuasaan.
Pada sistem reformasi pendidikan,
bahwasanya pendidikan adalah milik masyarakat,
yang mana sering menjadi bahan pertimbangan utama bagi para pemikir dan
praktisi pendidikan di Indonesia untuk mencari format ideal sistem pendidikan
nasional. Selain dilatarbelakangi oleh keinginan kuat memajukan pendidikan di
Indonesia, juga ada rasa iri terhadap kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh
penyelenggaraan pendidikan di negara-negara maju. Dari sudut pandang ini,
muncul hipotesis bahwa keberhasilan pendidikan di negara-negara maju dilandasi
oleh faktor penyelanggaraannya yang melibatkan seeluruh komponen masyarakat dan
terlepas dari hegemoni pemerintah.
Pendidikan milik masyarakat bisa
diartikan sebagai peningkatan peran seerta masyarakat untuk terlibat secara
langsung dalam penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan yang dimiiliki
masing-massing. Namun demikian, pendidikan milik massyarakat juga dapat
diartikan sebagai pembatasan campur tangan pemerintah dalam penyelenggaraan
pendidikan dengan melakukan desentralisasi. Jika secara politis pemerintah
Indonesia berani mengambil kebijakan otonomi daerah, maka tuntutan akan adanya
kebijakan otonomi pendidikan menjadi suatu keniscayaan.
Sebenarnya kebijakan tentang otonomi
daerah yang berimplikasi pada otonomi pendidikan bukan bertujuan untuk
memindahkan persoalan yang menjadi beban pemerintah pusat ke pundak pemerintah
kabupaten atau kota. Kebijakan tersebut lebih berorientasi pada peningkatan
kesejahteraan rakyat, pemerataan, keadilan dan penghormatan terhadap
nilai-nilai budaya lokal serta menggali potensi serta keanekaragaman daerah.[2]
Reformasi pendidikan adalah upaya perbaikan pada
bidang pendidikan. Reformasi pendidikan memiliki dua karakteristik dasar yaitu
terprogram dan sistemik. Reformsi pendidikan yang terprogram menunjuk pada
kurikulum atau program suatu institusi pendidikan.
Sedangkan reformasi sistemik berkaitan
dengan adanya hubungan kewenangan dan distribusi serta alokasi sumber daya yang
mengontrol sistem pendidikan secara keseluruhan.
Adapun Otonomi daerah adalah kewenangan yang
diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil
guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat
dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Otonomi daerah di Indonesia dilaksanakan
setelah gerakan reformasi 1998. Pada tahap awal pelaksanaannya, otonomi daerah
di Indonesia mulai diberlakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku 1 januari 2001. Setelah
diberlakukannya UU ini, terjadi perubahan yang besar terhadap struktur dan tata
laksana pemerintahan di daerah-daerah di Indonesia.
Pemberlakuan sistem desentralisasi
akibat pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah
ini juga memberi dampak terhadap pelaksanaan manajemen pendidikan yaitu memberi ruang gerak yang lebih luas kepada
pengelolaan pendidikan untuk menemukan strategi kompetisi dalam era kompetitif
mencapai output pendidikan yang berkualitas dan mandiri. Jadi reformasi
pendidikan di era otonomi daerah adalah upaya perbaikan dalam bidang pendidikan
yang terjadi pada masa di berlakukannya otonomi daerah yaitu tahun 1999.
Ada dua implikasi utama dari pelaksanaan
otonomi daerah bidang pendidikan, yaitu penyelenggaraan pendidikan oleh daerah
dan pemberlakuan kurikulum berbasis sekolah (KTSP). Dalam hal penyelenggaraan
pendidikan oleh daerah, kementerian pendidikan dan kebudayaan tidak lagi
memiliki kantor wilayah di provinsi dan kantor departemen di kabupaten/kota.
Peran kantor wilayah dan kantor departemen diambil alih oleh dinas pendidikan
yang menjadi bagian dari pemerintahan daerah. Implikasi lebih lanjut dari
pemberlakuan hal ini adalah penyaluran anggaran pendidikan lewat pemerintah
daerah, pengelolaan lembaga-lembaga pendidikan oleh daerah, dan pengelolaan
tenaga pendidik dan tenaga pendidikan oleh daerah.
Dalam hal pemberlakuan kurikulum
berbasis sekolah, yang dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP), pemerintah pusat memberikan sebagian besar otoritas pengembangan
kurikulum kepada masing-masing lembaga pendidikan, dengan mengacu kepada
peraturan-peraturan pendidikan yang berlaku. Peraturan-peraturan yang dimaksud
antara lain UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan Peraturan Pemerintah
tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam hal penyusunan kurikulum ini
pemerintah pusat membuat model kurikulum KTSP dan menentukan standar kompetensi
dari berbagai pelajaran yang menjadi bagian penting dari kurikulum tersebut.
Selebihnya masing-masing lembaga pendidikan harus mengembangkan sendiri
kurikulum mereka dengan mengembangkan materi pelajaran sesuai dengan
kompetensi, menambahkan pengalaman belajar yang dianggap menjadi kekhasan
daerah dan kebutuhan sekolah, serta menyusun standar kompetensi untuk pelajaran
yang tidak menjadi memiliki standar nasional, seperti bahasa daerah.
Upaya menuju desentralisasi pendidikan
difokuskan pada penataan kewenangan pusat dan daerah. Pemerintah pusat masih
mempertahankan bentuk-bentuk kewenangan di dunia pendidikan. Hal ini terlihat
jelas pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2000 tentang
kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi. Adapun yang menjadi kewenangan
pemerintah pusat yaitu :
1. Menetapkan standar kompetensi
siswa
2. Menetapkan standar materi
pelajaran pokok
3. Menetapkan persyaratan
perolehan dan penggunaan gelar akademik
4. Menetapkan pedoman pembiayaan
penyelenggaraan pendidikan
5. Menetapkan persyaratan
penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar dan mahasiswa
6. Menetapkan kalender pendidikan
dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar, menengah,
dan luar sekolah
7. Mengatur dan mengembangkan
pendidikan tinggi, pendidikan jarak jauh, serta mengatur sekolah internasional.[3]
Pemerintah provinsi memiliki kewenangan sebagai
berikut :
1. Menetapkan kebijakan penerimaan
siswa dan mahasiswa dari masyarakat minoritas, terbelakang dan atau tidak mampu
2. Menyediakan bantuan pengadaan
buku pelajaran pokok/ modul pendidikan untuk TK, pendidkan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan luar sekolah
3. Mendukung/membantu penyelenggaraan
pendidikan tinggi, selain pengaturan kurikulum, akreditasi, dan pengangkatan
tenaga akademis
4. Pertimbangan pembukaan dan
penutupan perguruan tinggi, penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai
pelatihan dan/ atau penataran guru.[4]
Adapun desentralisasi pendidikan di
tingkat sekolah merupakan satu bentuk desentralisasi yang langsung sampai ke
ujung tombak pendidikan di lapangan. Jika lembaga dinas pendidikan kecamatan,
dan dinas pendidikan kabupaten/kota lebih memiliki peran sebagai fasilitator
dan koordinator proses pembinaan, pengarahan, pemantauan dan penilaian, maka
sekolah perannya lebih nyata dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan.
Bentuk desentralisai pendidikan yang
paling mendasar adalah dilaksanakan oleh sekolah, dengan menggunakan komite
sekolah sebagai wadah pemberdayaan peran serta masyarakat, dan dengan
menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai proses pelaksanaan layanan
pendidikan secara nyata di dalam masyarakat.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004, dalam rangka
pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat perlu dibentuk Dewan
Pendidikan di tingkat kabupaten/kota, dan Komite Sekolah di tingkat satuan
pendidikian, baik di tingkat kabupaten/kota ataupun sekolah.[5]
Amanat undang-undang tersebut telah
ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002
tanggal 2 April 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. dalam
keputusan tersebut dengan jelas disebutkan bahwa peran yang harus diemban Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah adalah :
1. Sebagai pemberi pertimbangan
2. Pendukung kegiatan layanan
pendidikan
3. Pemantau kegiatan layanan
pendidikan
4. Mediator atau penghubung tali
komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah.
Beberapa urusan dalam bidang pendidikan yang secara
langsung dapat diserahkan kepada sekolah adalah sebagai berikut :
1. Menetapkan visi, misi, strategi, tujuan, logo, lagu, dan
tata tertib sekolah
2. Memiliki kewenangan dalam
penerimaan siswa baru sesuai dengan ruang kelas yang tersedia, fasilitas yang
ada, jumlah guru, dan tenaga admistratif yang dimiliki.
3.
Menetapkan kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang diadakan
dan dilaksanakn oleh sekolah.
4. Pengadaan sarana dan prasarana
pendidikan, termasuk buku pelajaran dengan memperhatikan standar dan ketentuan
yang ada.
5.
Proses pengajaran dan pembelajaran. Ini merupakan kewenangan
professional sejati yang dimiliki oleh lembaga pendidikan sekolah.[6]
Desentralisasi pendidikan
dilatarbelakangi oleh tiga motif, yaitu motif politis, motif pembiayaan (pendanaan)
dan motif efisiensi. Adapun tujuan desentralisasi pendidikan adalah :
1)
Mengembangkan pendidikan itu sendiri secara langsung,
2)
Mengembangkan pelaksanaan sistem pendidkan,
3)
Mengubah sumber dan jumlah dana yang disediakan untuk pendidikan,
4)
Memberikan keuntungan pada pemerintah pusat, dan
5)
Memberikan keuntungan pada pemerintah daerah.
Jadi, desentralisasi pendidikan
merupakan proses yang relatif kompleks, karena berhadapan dengan perubahan
dalam cara sistem persekolahan melakukan pembuatan kebijakan, menggali dan
memperoleh penerimaan dan penggunaan dana, melatih guru, mengembangkan
kurikulum dan mengelola sekolah di daerah. Desentralisasi pendidikan bukanlah
tujuan akhir, melainkan suatu alat yang penting untuk membangun dan meningkatkan
mutu pendidikan.
Sejak di gulirkan nya UU No. 22 tahun 1999
tentang pemerintah daerah yang berlaku 1 januari 2001 dan di amandemen UU No.32
tahun 2004, wacana desentralisasikan pemerintah ramai di kaji. Pendididkan
termasuk bidang yang di desentralisasikan ke pemerintah kota/kabupaten. Melalui desentralisasi pendidikan di harapkan
permasalahan pokok pendidikan, yaitu maslah mutu, pemerataan, relevansi,
evisiensi dan menejemen dapat terpecahkan.[7]
Berbagi setudi tentang desentralisasi
menunjukan bahwa pekerjaan bersifat kompleks, di kerjakan dalam tim, mengandung
unsur ketidak pastian, dan berada pada lingungan yang cepat
berubah tidak bisa dikelola secra sentralistik. Sekolah yang mempunyai
karakteristik seprti itu harus di desentralisasikan. Salah satu meetode desentralisasi
pendidikan adalah MBS
Menrut tilaar krisis pendidikan yang dialami
olehindonesia ini berkisar pada krisis
menejemen. Menurut nya di rumuskan secara sederhana pada sebagai mobilisasi
segala sumberdaya pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang di tetapkan.
Mnurutt
wholsteer dann mohroman ada empat sumberdaya yang harus di
desentralisasikan, di mana kesemuaan nya pada hakikat nya merupakan inti dan
isi MBS. Yaitu power/authority, knowledge, information, dan reward. Keempatnya
tidak bisa di pisahkan.
Model MBS di Indonesia disebut Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). MPMBS dapat diartikan sebagai model
manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, fleksibilitas
kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan
masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan
nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku (Nurkolis, 2003:107,
lih. juga Depdiknas, 2002:3). MPMBS merupakan bagian dari manajemen berbasis
sekolah (MBS). Jika MBS bertujuan untuk meningkatkan semua kinerja sekolah
(efektivitas, kualitas/mutu, efisiensi, inovasi, relevansi dan pemerataan serta
akses pendidikan), maka MPMBS lebih difokuskan pada peningkatan mutu
(Depdiknas, 2002:3-4). Otonomi sekolah
adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Sedangkan pengambilan keputusan partisipatif adalah cara untuk mengambil
keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik di mana
warga sekolah didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan
keputusan yang dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah. Sehingga
diharapkan sekolah akan menjadi mandiri dengan ciri-ciri sebagai berikut :
tingkat kemandirian tinggi, adaptif, antisipatif, dan proaktif, memiliki jiwa
kewirausahawan yang tinggi, bertanggung-jawab terhadap kinerja sekolah,
memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber dayanya,
memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja, komitmen yang tinggi pada dirinya dan prestasi
merupakan acuan bagi penilaiannya.
Tujuan MPMBS adalah memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui
pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang
lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong
partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan
(Depdiknas,2002:4).
Reformasi berarti perubahan radikal untuk perbaikan dalam bidang sosial,
politik atau agama di dalam suatu masyarakat atau
Negara. Adapun reformasi
pendidikan adalah upaya perbaikan pada bidang pendidikan.
Adapun Otonomi daerah adalah kewenangan yang
diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil
guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat
dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Rerormasi pendidikan di era otonomi daerah adalah
upaya perbaikan dalam bidang pendidikan yang terjadi pada masa di berlakukannya
otonomi daerah yaitu tahun 1999. implikasi utamanya yaitu penyelenggaraan
pendidikan oleh daerah dan pemberlakuan kurikulum berbasis sekolah (KTSP). Ini
berarti terdapat pembagian kewenangan antara penerintah pusat dan daerah dan
sekolah memiliki peranan yang lebih nyata
dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan bidang pendidikan.
Adapun salah satu bentuk dari
reformasi pendidikan adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
.
Kadi. Otonomi Pendidikan di Era Otonomi
Daerah, Ponorogo: STAIN PO press, 2009.
Mulyasa, E. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep Strategi, dan
Implementasi. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002.
Salim
Agus.Indonesia Belajarlah! Membangun Pendidikan Indonesia. Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2007.
Sam M. Chan dan
Tuti T. Sam. Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta:
Rajawali Pers, 2005.
Zainuddin. Reformasi
Pendidikan, Yogyakarta: CV.Pustaka Pelajar, 2008.
[1] Zainuddin, Reformasi
Pendidikan (Yogyakarta: CV.Pustaka Pelajar), hal.30.
[2] Kadi, Otonomi Pendidikan di
Era Otonomi Daerah, (Ponorogo: STAIN PO press), hal.1.
[3] PP No. 25 Tahun 2000 pada E. Mulyasa. Manajemen Berbasis Sekolah. 2002. Hlm. 194-214.
[4] Agus Salim, Indonesia Belajarlah! Membangun Pendidikan Indonesia,
2007, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, Cetakan ke 2), hlm. 270.
[5] Sam M. Chan dan Tuti T. Sam, Kebijakan Pendidikan Era
Otonomi Daerah, 2005, (Jakarta: Rajawali Pers). Cetakan ke 1, hlm. 7.
[6] Agus Salim, Indonesia Belajarlah! Membangun Pendidikan Indonesia,
2007, (Yogyakarta:
Tiara Wacana),
Cetakan ke 2, hlm. 271-274.
15 November 2016 pukul 06.27
permisi mbak .......