KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA
A.
Situasi dan Kondisi Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia Ketika
Belanda Datang
Keadaan kerajaan-kerajaan Islam menjelang datangnya Belanda di
akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 ke Indonesia berbeda-beda, tergantung dari
situasi politik, dan proses Islamisasinya.
Di Sumatera, setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, kawasan Selat
Malaka diperebutkan oleh Aceh, Portugis dan Johor. Pada
abad ke-16, Aceh lebih dominan, karena
para pedagang Muslim menghindar dari Malaka dan memilih Aceh sebagai pelabuhan
transit. Aceh berusaha menarik perdagangan internasional dan antarkepulauan Nusantara.
Ia mencoba menguasai pelabuhan-pelabuhan pengekspor lada, yang ketika itu
sedang banyak permintaan.
Ketika itu, Aceh memang sedang berada pada masa kejayaannya di
bawah Sultan Iskandar Muda. Iskandar Muda wafat dalam usia 46 tahun pada 27
Desember 1636. Ia digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani. Sultan ini masih mampu
mempertahankan kebesaran Aceh. Akan tetapi, setelah ia meninggal dunia, 15
Februari 1641, Aceh secara berturut-turut dipimpin oleh tiga orang wanita selama
59 tahun. Ketika itulah, Aceh mulai mengalami kemunduran. Daerah-daerah yang
dulu berada di bawah kekuasaannya mulai memerdekakan diri.
Meski sudah jauh menurun, Aceh masih bertahan lama menikmati kedaulatannya
dari intervensi kekuasaan asing. Padahal kerajaan-kerajaan Islam lainnya,
seperti Minangkabau, Jambi, Riau, dan Palembang tidak demikian.
Di jawa, pusat kerajaan Islam sudah pindah dari pesisir ke
pedalaman, yaitu dari Demak ke Pajang kemudian ke Mataram.berpindahnya pusat
pemerintahan itu membawa pengaruh besar, diantaranya adalah:
(1) kekuasaan dan sistem politik didasarkan
atas basis agraris,
(2) peranan daerah pesisir dalam perdagangan
dan pelayaran mundur, dan
(3) terjadinya pergeseran pusat-pusat
perdagangan .
Pada tahun 1619, seluruh Jawa Timur sudah berada dibawah kekuasaan
Mataram, yang ketika itu di bawah Sultan Agung. Pada masa pemerintahan Sultan
Agung inilah, kontak-kontak bersenjata antara Mataram dengan VOC mulai terjadi.
Sementara itu, Banten di pantai Jawa Barat muncul sebagai simpul
penting antara lain karena, perdagangan ladanya, Banten menarik perdagangan
lada dari Indrapura, Lampunng, dan Palembang. Produksi ladanya sendiri
sebenarnya kurang berarti. Merosotnya peran pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur
akibat politik Mataram dan munculnya Makassar sebagai pusat perdagangan membuat
jaringan perdagangan dan rute pelayaran dagang di Indonesia bergeser. Kalau di
awal abad ke-16, rute yang ditempuh ialah Maluku – Jawa – Selat Malaka, maka di
akhir abad itu menjadi Maluku – Makassar – Selat Sunda.
Di Sulawesi, pada akhir abad ke-16, pelabuhan Makassar berkembang
dengan pesat. Letaknya memang strategis, yaitu tempat persinggahan ke Maluku,
Filipina, Cina, Patani, Kepulauan Nusa Tenggara, dan Kepulauan Indonesia bagian
Barat. Akan tetapi ada faktor-faktor historis lain yang mempercepat
perkembangan itu. Pertama, pendudukan Malaka oleh portugis mengakibatkan
terjadinya migrasi pedagang Melayu, antara lain ke Makassar. Kedua, arus
migrasi Melayu bertambah besar setelah Aceh mengadakan ekspedisi terus menerus
ke Johor dan pelabuhan-pelabuhan di Semenanjung Melayu. Ketiga, blokade
Belanda terhadap Malaka dihindari oleh pedagang-pedagang, baik Indonesia maupun
India, Asia Barat da Asia Timur. Keempat, merosotnya pelabuhan Jawa
Timur mengakibatkan fungsinya diambil oleh pelabuhan Makassar. Kelima,
usaha Belanda memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku membuat Makassar
mempunyai kedudukan sentral bagi perdagangan antara Malaka dan Maluku. Itu
semua membuat pasar berbagai macam barang berkembang di sana.
Sementara itu Maluku , Banda, Seram, dan Ambon sebagai pangkal atau
ujung perdagangan rempah-rempah menjadi sasaran pedagang Barat yang ingin
menguasainya dengan politik monopolinya.
B.
Latar Belakang Kedatangan Belanda, VOC, Hindia Belanda
` Tujuan Belanda datang
ke Indonesia, untuk mengembangkan usaha perdagangan, yaitu mendapatkan
rempah-rempah yang mahal harganya di Eropa. Perseroan Amsterdam mengirim armada
kapal dagangnya yang pertama ke Indonesia tahun 1595, terdiri dari empat kapal,
di bawah pimpinan Cornelis de Houtman. Menyusul kemudian, angkatan kedua tahun
1598 dibawah pimpinan van Nede, van Heemskerck, dan van Warwijck. Selain dari
Amsterdam, juga datang beberapa kapal dari berbagai kota di Belanda. Ankatan
ketiga berangkat tahun1599 di bawah piminan van der Hagen dan angkatan keempat
tahun 1600di bawah pimpinan van Neck.
Melihat hasil yang diperoleh
perseroan Amsterdam itu, banyak perseroan lain berdiri yang juga ingin
berdagang dan berlayar ke Indonesia. Pada bulan Maret 1602, perseroan-perseroan
itu bergabung dan disahkan oleh Staten-General Republik dengan
satu piagam yanag memberi hak khusus kepada perseroan gabungan tersebut untuk
berdagang, berlayar, dan memegang kekuasaan antara Tanjung Harapan dan
Kepulauan Solomon, termasuk kepulauan Nusantara. Perseroan itu bernama
Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC).
Dalam pelayaran pertama, VOC sudah
mencapai Banten dan Selat Bali. Pada Pelayaran kedua, mereka sampai ke Maluku
untuk membeli rempah-rempah. Dalam angkatan ketiga, mereka sudah terlibat
perang melawan portugis di Ambon, tetapi gagal, yang memaksa mereka untuk mendirikan
benteng tersendiri. Mereka kali ini sudah berhasil membuat kontrak dengan
pribumi mengenai jual-beli rempah-rempah. Dalam angkatan keempat, mereka
berhasil membuka perdagangan dengan Banten dan Ternate, tetapi mereka gagal
merebut benteng Portugis di Tidore.
Dalam usaha mengembangkan
perdagangannya, VOC nampak ingin melakukan monopoli. Karena itu, aktivitasnya
yang ingin menguasai perdagangan Indonesia menimbulkan perlawanan
pedagang-pedagang pribumi yang merasa kepentingannya terancam.
Pada tahun 1979, VOC dibubarkan
dengan saldo kerugian sebesar 134.7 juta gulden. Sebelumnya, pada 1795 izin
operasinya dicabut. Kemunduran, kebangkrutan, dan dibubarkannya VOC disebabkan
oleh berbagai faktor, antara lain
pembukuan yang curang, pegawai yang tidak cakap dan korup, hutang besar, dan
sistem monopoli serta sistem tanam paksa dalam pengumpulan bahan-bahan/hasil
tanaman penduduk menimbulkan kemerosotan moril baik para penguasa maupun
penduduk yang sangat menderita.
Dengan bubarnya VOC, pada pergantian
abad ke-18 secara resmi Indonesia pindah ke tangan pemerintah Belanda.
Pemerintahan Belanda ini berlangsung sampai
tahun 1942 dan hanya diinterupsi pemerintahan Inggris selama beberapa
tahun pada 1811-1816. Sampai tahun 1811, pemerintahan Hindia Belanda tidak
mengadakan perubahan yang berarti. Bahkan pada tahun 1816, Belanda malah
memanfaatkan daerah jajahan untuk memberi keuntungan sebanyak-banyaknya kepada
negeri Induk, guna menanggulangi masalah ekonomi Belanda yang sedang mengalami
kebangkrutan akibat perang. Pada tahun 1830, pemerintah Hindia Belanda
menjalankan sistem tanam paksa, dan pada tahun 1901 Belanda menerapkan politik
etis atau politik balas budi.
C.
Penetrasi Politik Belanda
VOC sejak semula memang
diberi izin oleh pemerintah
Belanda untuk melakukan kegiatan politik dalam rangka mendapatkan hak monopoli
dagang di Indonesia. Olek karena itu, VOC dibantu oleh kekuatan militer dan
armada tentara serta hak-hak yang bersifat kenegaraan seperti mempunyai
wilayah, mengadakan perjanjian politik, dan sebagainya. Dengan perlengkapan
yang lebih maju, VOC, melakukan politik ekspansi dan menjelang akhir abad
ke-18, ekspansi wilayah ini berhasil sampai di Jawa.
Sejak awal Belanda melihat bahwa dalam jarinagan perdagangan di
Indonesia bagian barat, kedudukan Malaka, Johor, dan Banten adalah sangat
penting. Mereeka berpendapat, pelabuhan-pelabuhan itu harus dikuasai. Akhirnya
mereka memilih Jakarta, daerah yang paling lemah, sebagai basis kegiatannya.
Sultan Agung sejak semula sudah melihat bahwa Belanda adalah
ancaman. Pada tahun 1628 dan 1629, mataram dua kali melakukan serangan ke
Batavia, tetapi gagal. Masuknya pengaruh Belanda ke pusat kekuasaan Mataram
adalah karena Amangkurat II (1677-1703) meminta bantuan VOC untuk memadamkan pemberontakan
Trunojoyo, adipati Madura, dan pemberontakan Kajoran. Pada masa Amangkurat III
Mataram mengalami krisis, sementara Belanda telah menggerogoti wilayah dan
kekuasaannya. Memang, setiap bantuan yang diberikan Belanda harus dibayar
dengan wilayah dan konsensi dagang.
Meluasnya pengaruh Belanda dalam dalam pemerintahan Mataram,
dipercepat oleh konflik intern dalam istana. Karena konflik itulah, Mataram
pada tahun 1755 pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta.
Sementara itu, Banten segera mengalami kemunduran disebabkan oleh politik
monopoli VOC. Hubungan dagang antara Banten dan Malaka sebelumnya sangat baik.
Rempah-rempah dan lada diperoleh Portugis dari Banten dan Portugis menjual
bahan pakaian di Banten. Namun, ketika Ambon dan Banda diblokade Belanda,
perdagangan rempah-rempah dari Banten menyusut drastis karena perdagangan
beralih ke Makassar.
Hubungan Banten dengan Belanda menjadi runcing ketika Sultan Ageng
Tirtayasa naik tahta tahun 1651. Ia sangat memusuhi Belanda, karena Belanda
dipandangnya menghalangi usaha Banten memajukan dunia perdagangan. Pada tahun
1656, dua kali kapal Belanda dirampas Banten, tetapi itu tidak menimbulkan
perang terbuka antara dua belah pihak. Anak Sultan Ageng Tirtayasa menyerang
Surosowan, istana Sultan Haji, yang ketika itu sudah menjadi pimpinan kerajaan
Banten. Serangan ini dapat dipatahkan berkat bantuan Belanda, tetapi dengan
demikian, Banten berada di bawah kekuasaan Belanda.
Penetrasi Belanda dalam dunia politik seringkali “diundang” oleh
konflik-konflik internal suatu kerajaan atau konflik antarkerajaan di
Indonesia.
Sementara itu, dua kerajaan yang selalu bersaing, Gowa-Tallo dan
Bone, terus terlibat konflik. Ketika terjadi pertentangan mengenai monopoli
antara Gowa dan VOC, Sultan Gowa, Sultan Hasanudin, mengambil langkah
mengadakan pengawasan ketat terhadap Bone dan mengerahkan tenaga kerja
untuk memperkuat pertahanan Makassar.
Dalam pertempuran antara Gowa dan Bone, Bone mengalami kekalahan besar.
Orang-orang Bugis kemudian bersatu di bawah pimpinan Arung Palaka untuk melawan
Makassar. VOC mendapat keuntungan besar dari persekutuan orang-orang Bugis itu,
persekutuan Soppeng dan Bone, bahkan Belanda juga berhasil mengajak Ternate
untuk terlibat dalam peperangan melawan Makassar. Dalam peperangan itu,
Makassar mengalami kekalahan. Konfrontasi antara Makassar dan VOC baru berakhir
setelah diadakan gencatan senjata pada tanggal 6 November 1667, kemudian
perjanjian Bongaya tanggal 13 November 1667. Isi perjanjian itu terutama
menekankan prinsip hidup berdampingan
secara serasi dalam suasana perdamaian.
Pada waktu gencatan senjata berlangsung, sebelum perjanjian
disepakati, antara Speelman dari pihak Belanda dan Sultan Hasanuddin diadakan
pertemuan-pertemuan yang menghasilkan persetujuan. Tuntutan Speelman terdiri
dari 26 butir, yang semuanya berisi
kepentingan VOC dalam bidang politik, militer, dan ekonomi. Dengan demikian,
monopoli yang merupakan tujuan VOC di Indonesia tercapai, baik di Makassar
maupun di Indonesia bagian timur.
Akan tetapi, banyak kalangan yang tidak menyetujui perjanjian
dengan Belanda, terutama kalangan yang bersimpati kepada kerajaan Gowa. Oleh
karena itu, usaha untuk mendekati sekutu-sekutu lama dilakukan. Pada tahun
berikutnya, peperangan antara Makassar di satu pihak, VOC dan Bugis di pihak
lain berkobar kembali. Makassar kembali dilanda kekalahan. Istananya bahkan
mendapat serangan pada tahun 1669. Sultan Hasanuddin terpaksa mengungsi.
Sebelum istana Somboapu jatuh, Sultan Hasanuddin turun dari tahta dan diganti
oleh putra I Mappasomba, Sultan Amir Hamzah. Kekalahan gowa ini membuatnya
berada dibawah kekuasaan Bone.
Penetrasi politik Belanda juga terjadi kerajaan Banjarmasin.
Belanda pertama kali datang ke kerajaan ini pada awal abad ke-17. Mereka dengan
susah payah mendapatkan izin untuk berdagang. Karena dipandang merugikan
pedagang Banjar sendiri, para pedagang Belanda ini akhirnya diusir dari sana.
Posisi mereka kemudian diisi oleh para pedagang asal Inggris. Namun, juga
diusir dari kerajaan itu dengan alasan yang sama. Setelah pedagang Inggris
meninggalkan Banjarmasin pada dasawarsa ketiga abad ke-18, Banjar didatangi
lagi oleh pedagang Belanda. Mereka mendekati Sultan Tahlilillah dan pada tahun
1734, mereka berhasil mengadakan perjanjian dengan mendapatkan fasilitas
perdagangan di kerajaan itu. Pada mulanya, mereka masih sangat tergantung
kepada kebijaksanaan sultan. Kesempatan untuk memperbesar pengaruh balam
kerajaan Banjar baru mereka peroleh ketika terjadi konflik antara Pangeran Amir
dan Pangeran Nata. Pangeran Amir yang lebih disenangi rakyat tersingkir dalam
persaingannya memperebutkan tahta kerajaan dengan Pangeran Nata yang mendapat
bantuan Belanda. Pangeran Amir akhirnya dapat ditangkap dan dibuang ke Ceylon.
Sejak kemenangan Pangeran Nata terhadap Pangeran Amir itu, sedikit
demi sedikit kekuasaan Belanda semakin besar dan kokoh. Setiap kali perjanjian
yang diadakan antara Belanda dan Sultan, selalu wilayah kekuasaan Belanda
semakin bertambah. Hal ini berlangsung terus dan hanya diselingi oleh Inggris antara tahun 1811 sampai 1816 M.
Seluruh wilayah kesultanan Banjarmasin, kecuali daerah Hulu Sungai, Martapura,
dan Banjarmasin, sudah masuk dalam kekuasaan Belanda.
Mungkin hanya Aceh yang menikmati kemerdekaannya sampai pertengahan
abad ke-19. Selain Aceh berada di kekuasaan Belanda. Usaha mengadakan
perlawanan untuk memebebaskan diri dari pengaruh Belanda sebenarnya sangat
banyak bagai tak pernah putus-putusnya. Akan tetapi, usaha-usaha itu selalu
gagal karena beberapa sebab, diantaranya:
(1) Belanda diperlengkapi dengan organisasi dan persenjataan
modern, sementara kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia masih bersifat
tradisional,
(2) penduduk Indonesia sangat tergantung kepada wibawa seorang
pemimpin, sehingga ketika pemimpinnya tertangkap atau terbunuh, perang atau perlawanan
terhenti dengan kemenangan di pihak Belanda,
(3)
tidak ada kesatuan antara kerajaan-kerajaan Islam dalam melawan Belanda,
(4) Belanda
berhasil menerapkan politik adu domba, dan
(5) Banyak
penduduk yang ikut memerangi rekan-rekannya sendiri.
D.
Perlawanan terhadap penjajahan belanda
Empat perlawanan terbesar dan terlama, Perlawanan tersebut antara
lain;
1.
Perang
paderi di minangkabau
Pusat kekuasaan
minangkabau adalah pagaruyung, tetapi raja hanya bnerfungsi sebagai lambang.
Kekuasaan sesungguhnya berada di tangan para penghulu adat, walaupun islam
sudah masuk sejak abad ke-16, tetapi proses singkretisme (perpaduan)
berlangsung lama.
Pada mulanya
gerakan yang dikenal dengan nama paderi ini dilakukan melalui ceramah disurau
dan mesjid. Konflik terbuka dengan golongan penantang baru terajadi ketika
golongan adat mengadakan pesta menyabung ayam di kampong batabuh. Pesta maksiat
itu diperangi oleh golongan paderi sejaktulah perang antara kaum pader melawan
kaum adat mulai berlangsung.
Sebenarnya,
banyak kaum adat yang mendukung dan berpihak kepada kaum paderi. Tantangan
keras yang dihadapi paderi berasal dari keturunan raja-raja. Mereka inilah yang
senantiasa menghambat gerakan tersebut. Golongan terakhir ini kemudian meminta
bantuan kepada pemerintah hindia belanda yang di sambut dengan senang hati.
Pada tanggal 12 februari 1921 perjanjian antara kaum adat dan kaum paderii
ditandatangani. Bermulalah perang antara golngan paderi ang didukung olrh
rakyat, melawan pasukan belanda yang didukung persenjataan modern dan personil
terlatih.
Kaum paderi
memperkuat benteng yang tangguh di bonjol, yang sekaligus berfungsi sebagai
pusat pengumpulan logistic dan pembuatan senjata api. Benteng ini dipimpin oleh
Muhammad syabab yang kemudian bergelar tuanku imam bonjol.
Dalam peperanga
pertama, belanda banyak mendapatkan kesulitan dan menderita kekalahan sehingga
mereka harus mendatangkan bantuan dari Batavia. Karena terus mendapat
kesulitan, belanda mencari cara lain dan akhirnya berhasil membujuk kaum paderi
untuk berdamai pada 22 januari 1824. Selanjutnya belanda juga mendapat
kesulitan, sehingga pada 15 september 1825 kembali diadakan perjanjian damai,
perjanjian ini dimaksud oleh belanda untuk mengkonsentrasikan kekuatan di jawa
menghadapi pangeran diponegoro. Akan tetapi penghinatan pihak belanda masih
berlanjut. Hingga kaum paderi tidak lagi percaya kepada belanda dan pun belanda
tak pernah menyerah untuk mengalahkan kaum paderi. Akhirnya diapun kalah.
Walaupun paderi
kalah ditangan belanda, gerakan ini berhasil memperkuat posisi agama disamping
adat, terjadi asimilasi doktrin agama kedalam adat minangkabau sebagai pola
perilaku ideal.
2.
Perang
diponegoro
Perang
diponegoro adalah perang terbesar yang dihadapi pemerintah colonial belanda di
jawa. Peristiwa yang memicu peperangan adalah rencana pemerintah hindia belanda
untuk membuat jalan yang menerobos tanah milik pangeran diponegoro. Dalm
perang, pangeran diponegoro menggunakan taktik grilya. Peperangan segera
menyebar luas kemana-mana. Kota Yogya dikepung sehingga penduduk Belanda
merasa terancam. Untuk memperkuat semangat, Pangeran diponegoro dinobatkan
sebagai pimpinan tertinggi jawa dengan gelar sultan ngabdul humid herucakra
kabril mukminin khalifatullah ing tanah jawa. Pada tahun 1826, jalan perang
menunjukkan pasang surut. Banyak korban dipihak belanda, 1827, belanda
memperkuat diri dengan melakukan benteng stelsel untuk mempersempit gerak
tentara pangeran diponegoro. Belanda juga mengerahkan bantuan dari negri
belanda sekitar tiga ribu orang. hingga
Pihak pangeran diponegoro mulai terdesak sedikit demi sedikit. Pada tahun 1827,
kiai Maja bersedia berunding dan mengadakan genjatan senjata dengan belanda.
3.
Perang
Banjarmasin
pengangkatan
pangeran tamjid menjadi sultan yang hingga banyak menimbulkan kekecewaan di
kalangan rakyat dan para pembesar lainnya. Akibatnya timbul kericuhan di dalam
wilayah kerajaan Banjarmasin. Melihat kericuhan itu, belanda kembali memasuki
persoalan politik untuk mengambil keuntungan yang lebih besar, colonel Andresen
sengaja didatangkan dari Batavia untuk meneliti persoalan dari dekat. Andresen
berkesimpulan bahwa pangeran tamjid adalah sumber kercuhan tersebut. ia
kemudian diturunkan dan ekuasaannya diambil alih oleh belanda.
Pengambilan
kekuasaan itu mengalihkan penentangan kepada belanda dan saat itulah perang
banjarmasin dimulai. Perlawanan rakyat terhadap belanda berkobar
didaerah-daerah yang dipimpin oleh pangeran antashari yang berhasil menghimpun
300 org yang menyerbu pos-pos belanda. dia di dukung oleh pembesar-pembesar
kerajaan lainnya. Pangeran hidayat sendiri berbelok kepada pangeran antasari
untuk bersama-sama berperang melawan belanda.
4.
Perang aceh
Pada awal abad ke
-19, sebenarnya hegemoni kerajaan aceh di suumatra utara sudah sangat menurun,
tetapi kedaulatannya masih d akui oleh Negara-negara barat. Pada tanggal 30
maret 1857 ditandatangani kontrak antara aceh dan pemerintahan Hindia Belanda
angg berisi kebebasab perdagangan.
Awal dari
perang aceh yang menurut waktu dan ruang, tidak ada taranya dalam sejarah
perlawanan terhadap kekuasaan colonial. Perang ini disebut juga perang rakyat
karena seluruh rakyat aceh terlibat aktif melawan kolonioal.
E.
Politik islam hindia belanda
Berdasarkan
analisanya, islam dapat dibagi menjadi dua bagian, yang satu islam religious,
dan yang lain islam politik. Terhadap masalah agama, pemertintah belanda
disarankan bersikap toleran yang dijabarkan didalam sikap netral terhadap
kehidupan keagamaan. Toleransi terhadapnya merupakan suatu syrat mutlak demi
ketenangan dan stabilitas.akan tetapi islam politik harus selalu dicurigai dan
diteliti dari mana datangnya, terutama yang dipengaruhi gagasan
pan-islam.
Politik islam
hindia Belanda adalah Mendirikan sekolah dan menyekolahkan kaum pribumi dengan
terkhusus kepada kaum bangsawan. Setelah melakukan studinya barulah ditarik ke
arah westernisasi. Dalam pandangan snouck hurgronje, Indonesia harus melangkah
ke-arah dunia modern. Sehingga secara perlahan Indonesia menjadi bagian dari
dunia modern itu. juga para lulusan sekolah ini
diharapkan menjadio partner dalam kehidupan social dan budaya HIndia
Belanda.