twitter




KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA
A.    Situasi dan Kondisi Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia Ketika Belanda Datang
Keadaan kerajaan-kerajaan Islam menjelang datangnya Belanda di akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 ke Indonesia berbeda-beda, tergantung dari situasi politik, dan proses Islamisasinya.
Di Sumatera, setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, kawasan Selat Malaka diperebutkan oleh Aceh, Portugis dan  Johor.  Pada abad ke-16, Aceh lebih dominan,     karena para pedagang Muslim menghindar dari Malaka dan memilih Aceh sebagai pelabuhan transit. Aceh berusaha menarik perdagangan internasional dan antarkepulauan Nusantara. Ia mencoba menguasai pelabuhan-pelabuhan pengekspor lada, yang ketika itu sedang banyak permintaan.
Ketika itu, Aceh memang sedang berada pada masa kejayaannya di bawah Sultan Iskandar Muda. Iskandar Muda wafat dalam usia 46 tahun pada 27 Desember 1636. Ia digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani. Sultan ini masih mampu mempertahankan kebesaran Aceh. Akan tetapi, setelah ia meninggal dunia, 15 Februari 1641, Aceh secara berturut-turut dipimpin oleh tiga orang wanita selama 59 tahun. Ketika itulah, Aceh mulai mengalami kemunduran. Daerah-daerah yang dulu berada di bawah kekuasaannya mulai memerdekakan diri.
Meski sudah jauh menurun, Aceh masih bertahan lama menikmati kedaulatannya dari intervensi kekuasaan asing. Padahal kerajaan-kerajaan Islam lainnya, seperti Minangkabau, Jambi, Riau, dan Palembang tidak demikian.
Di jawa, pusat kerajaan Islam sudah pindah dari pesisir ke pedalaman, yaitu dari Demak ke Pajang kemudian ke Mataram.berpindahnya pusat pemerintahan itu membawa pengaruh besar, diantaranya adalah:
 (1) kekuasaan dan sistem politik didasarkan atas basis agraris,
 (2) peranan daerah pesisir dalam perdagangan dan pelayaran mundur, dan
 (3) terjadinya pergeseran pusat-pusat perdagangan .
Pada tahun 1619, seluruh Jawa Timur sudah berada dibawah kekuasaan Mataram, yang ketika itu di bawah Sultan Agung. Pada masa pemerintahan Sultan Agung inilah, kontak-kontak bersenjata antara Mataram dengan VOC mulai terjadi.
Sementara itu, Banten di pantai Jawa Barat muncul sebagai simpul penting antara lain karena, perdagangan ladanya, Banten menarik perdagangan lada dari Indrapura, Lampunng, dan Palembang. Produksi ladanya sendiri sebenarnya kurang berarti. Merosotnya peran pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur akibat politik Mataram dan munculnya Makassar sebagai pusat perdagangan membuat jaringan perdagangan dan rute pelayaran dagang di Indonesia bergeser. Kalau di awal abad ke-16, rute yang ditempuh ialah Maluku – Jawa – Selat Malaka, maka di akhir abad itu menjadi Maluku – Makassar – Selat Sunda.
Di Sulawesi, pada akhir abad ke-16, pelabuhan Makassar berkembang dengan pesat. Letaknya memang strategis, yaitu tempat persinggahan ke Maluku, Filipina, Cina, Patani, Kepulauan Nusa Tenggara, dan Kepulauan Indonesia bagian Barat. Akan tetapi ada faktor-faktor historis lain yang mempercepat perkembangan itu. Pertama, pendudukan Malaka oleh portugis mengakibatkan terjadinya migrasi pedagang Melayu, antara lain ke Makassar. Kedua, arus migrasi Melayu bertambah besar setelah Aceh mengadakan ekspedisi terus menerus ke Johor dan pelabuhan-pelabuhan di Semenanjung Melayu. Ketiga, blokade Belanda terhadap Malaka dihindari oleh pedagang-pedagang, baik Indonesia maupun India, Asia Barat da Asia Timur. Keempat, merosotnya pelabuhan Jawa Timur mengakibatkan fungsinya diambil oleh pelabuhan Makassar. Kelima, usaha Belanda memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku membuat Makassar mempunyai kedudukan sentral bagi perdagangan antara Malaka dan Maluku. Itu semua membuat pasar berbagai macam barang berkembang di sana.
Sementara itu Maluku , Banda, Seram, dan Ambon sebagai pangkal atau ujung perdagangan rempah-rempah menjadi sasaran pedagang Barat yang ingin menguasainya dengan politik monopolinya.
B.     Latar Belakang Kedatangan Belanda, VOC, Hindia Belanda
`           Tujuan Belanda datang ke Indonesia, untuk mengembangkan usaha perdagangan, yaitu mendapatkan rempah-rempah yang mahal harganya di Eropa. Perseroan Amsterdam mengirim armada kapal dagangnya yang pertama ke Indonesia tahun 1595, terdiri dari empat kapal, di bawah pimpinan Cornelis de Houtman. Menyusul kemudian, angkatan kedua tahun 1598 dibawah pimpinan van Nede, van Heemskerck, dan van Warwijck. Selain dari Amsterdam, juga datang beberapa kapal dari berbagai kota di Belanda. Ankatan ketiga berangkat tahun1599 di bawah piminan van der Hagen dan angkatan keempat tahun 1600di bawah pimpinan van Neck.
Melihat hasil yang diperoleh perseroan Amsterdam itu, banyak perseroan lain berdiri yang juga ingin berdagang dan berlayar ke Indonesia. Pada bulan Maret 1602, perseroan-perseroan itu bergabung  dan  disahkan oleh Staten-General Republik dengan satu piagam yanag memberi hak khusus kepada perseroan gabungan tersebut untuk berdagang, berlayar, dan memegang kekuasaan antara Tanjung Harapan dan Kepulauan Solomon, termasuk kepulauan Nusantara. Perseroan itu bernama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC).
Dalam pelayaran pertama, VOC sudah mencapai Banten dan Selat Bali. Pada Pelayaran kedua, mereka sampai ke Maluku untuk membeli rempah-rempah. Dalam angkatan ketiga, mereka sudah terlibat perang melawan portugis di Ambon, tetapi gagal, yang memaksa mereka untuk mendirikan benteng tersendiri. Mereka kali ini sudah berhasil membuat kontrak dengan pribumi mengenai jual-beli rempah-rempah. Dalam angkatan keempat, mereka berhasil membuka perdagangan dengan Banten dan Ternate, tetapi mereka gagal merebut benteng Portugis di Tidore.
Dalam usaha mengembangkan perdagangannya, VOC nampak ingin melakukan monopoli. Karena itu, aktivitasnya yang ingin menguasai perdagangan Indonesia menimbulkan perlawanan pedagang-pedagang pribumi yang merasa kepentingannya terancam.
Pada tahun 1979, VOC dibubarkan dengan saldo kerugian sebesar 134.7 juta gulden. Sebelumnya, pada 1795 izin operasinya dicabut. Kemunduran, kebangkrutan, dan dibubarkannya VOC disebabkan oleh  berbagai faktor, antara lain pembukuan yang curang, pegawai yang tidak cakap dan korup, hutang besar, dan sistem monopoli serta sistem tanam paksa dalam pengumpulan bahan-bahan/hasil tanaman penduduk menimbulkan kemerosotan moril baik para penguasa maupun penduduk yang sangat menderita.
Dengan bubarnya VOC, pada pergantian abad ke-18 secara resmi Indonesia pindah ke tangan pemerintah Belanda. Pemerintahan Belanda ini berlangsung sampai  tahun 1942 dan hanya diinterupsi pemerintahan Inggris selama beberapa tahun pada 1811-1816. Sampai tahun 1811, pemerintahan Hindia Belanda tidak mengadakan perubahan yang berarti. Bahkan pada tahun 1816, Belanda malah memanfaatkan daerah jajahan untuk memberi keuntungan sebanyak-banyaknya kepada negeri Induk, guna menanggulangi masalah ekonomi Belanda yang sedang mengalami kebangkrutan akibat perang. Pada tahun 1830, pemerintah Hindia Belanda menjalankan sistem tanam paksa, dan pada tahun 1901 Belanda menerapkan politik etis atau politik balas budi.

C.    Penetrasi Politik Belanda
VOC sejak semula memang  diberi  izin oleh pemerintah Belanda untuk melakukan kegiatan politik dalam rangka mendapatkan hak monopoli dagang di Indonesia. Olek karena itu, VOC dibantu oleh kekuatan militer dan armada tentara serta hak-hak yang bersifat kenegaraan seperti mempunyai wilayah, mengadakan perjanjian politik, dan sebagainya. Dengan perlengkapan yang lebih maju, VOC, melakukan politik ekspansi dan menjelang akhir abad ke-18, ekspansi wilayah ini berhasil sampai di Jawa.
Sejak awal Belanda melihat bahwa dalam jarinagan perdagangan di Indonesia bagian barat, kedudukan Malaka, Johor, dan Banten adalah sangat penting. Mereeka berpendapat, pelabuhan-pelabuhan itu harus dikuasai. Akhirnya mereka memilih Jakarta, daerah yang paling lemah, sebagai basis kegiatannya.
Sultan Agung sejak semula sudah melihat bahwa Belanda adalah ancaman. Pada tahun 1628 dan 1629, mataram dua kali melakukan serangan ke Batavia, tetapi gagal. Masuknya pengaruh Belanda ke pusat kekuasaan Mataram adalah karena Amangkurat II (1677-1703) meminta bantuan VOC untuk memadamkan pemberontakan Trunojoyo, adipati Madura, dan pemberontakan Kajoran. Pada masa Amangkurat III Mataram mengalami krisis, sementara Belanda telah menggerogoti wilayah dan kekuasaannya. Memang, setiap bantuan yang diberikan Belanda harus dibayar dengan wilayah dan konsensi dagang.
Meluasnya pengaruh Belanda dalam dalam pemerintahan Mataram, dipercepat oleh konflik intern dalam istana. Karena konflik itulah, Mataram pada tahun 1755 pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta.
Sementara itu, Banten segera mengalami kemunduran disebabkan oleh politik monopoli VOC. Hubungan dagang antara Banten dan Malaka sebelumnya sangat baik. Rempah-rempah dan lada diperoleh Portugis dari Banten dan Portugis menjual bahan pakaian di Banten. Namun, ketika Ambon dan Banda diblokade Belanda, perdagangan rempah-rempah dari Banten menyusut drastis karena perdagangan beralih ke Makassar.
Hubungan Banten dengan Belanda menjadi runcing ketika Sultan Ageng Tirtayasa naik tahta tahun 1651. Ia sangat memusuhi Belanda, karena Belanda dipandangnya menghalangi usaha Banten memajukan dunia perdagangan. Pada tahun 1656, dua kali kapal Belanda dirampas Banten, tetapi itu tidak menimbulkan perang terbuka antara dua belah pihak. Anak Sultan Ageng Tirtayasa menyerang Surosowan, istana Sultan Haji, yang ketika itu sudah menjadi pimpinan kerajaan Banten. Serangan ini dapat dipatahkan berkat bantuan Belanda, tetapi dengan demikian, Banten berada di bawah kekuasaan Belanda.
Penetrasi Belanda dalam dunia politik seringkali “diundang” oleh konflik-konflik internal suatu kerajaan atau konflik antarkerajaan di Indonesia.
Sementara itu, dua kerajaan yang selalu bersaing, Gowa-Tallo dan Bone, terus terlibat konflik. Ketika terjadi pertentangan mengenai monopoli antara Gowa dan VOC, Sultan Gowa, Sultan Hasanudin, mengambil langkah mengadakan pengawasan ketat terhadap Bone dan mengerahkan tenaga kerja untuk  memperkuat pertahanan Makassar. Dalam pertempuran antara Gowa dan Bone, Bone mengalami kekalahan besar. Orang-orang Bugis kemudian bersatu di bawah pimpinan Arung Palaka untuk melawan Makassar. VOC mendapat keuntungan besar dari persekutuan orang-orang Bugis itu, persekutuan Soppeng dan Bone, bahkan Belanda juga berhasil mengajak Ternate untuk terlibat dalam peperangan melawan Makassar. Dalam peperangan itu, Makassar mengalami kekalahan. Konfrontasi antara Makassar dan VOC baru berakhir setelah diadakan gencatan senjata pada tanggal 6 November 1667, kemudian perjanjian Bongaya tanggal 13 November 1667. Isi perjanjian itu terutama menekankan prinsip hidup berdampingan  secara serasi dalam suasana perdamaian.
Pada waktu gencatan senjata berlangsung, sebelum perjanjian disepakati, antara Speelman dari pihak Belanda dan Sultan Hasanuddin diadakan pertemuan-pertemuan yang menghasilkan persetujuan. Tuntutan Speelman terdiri dari  26 butir, yang semuanya berisi kepentingan VOC dalam bidang politik, militer, dan ekonomi. Dengan demikian, monopoli yang merupakan tujuan VOC di Indonesia tercapai, baik di Makassar maupun di Indonesia bagian timur.
Akan tetapi, banyak kalangan yang tidak menyetujui perjanjian dengan Belanda, terutama kalangan yang bersimpati kepada kerajaan Gowa. Oleh karena itu, usaha untuk mendekati sekutu-sekutu lama dilakukan. Pada tahun berikutnya, peperangan antara Makassar di satu pihak, VOC dan Bugis di pihak lain berkobar kembali. Makassar kembali dilanda kekalahan. Istananya bahkan mendapat serangan pada tahun 1669. Sultan Hasanuddin terpaksa mengungsi. Sebelum istana Somboapu jatuh, Sultan Hasanuddin turun dari tahta dan diganti oleh putra I Mappasomba, Sultan Amir Hamzah. Kekalahan gowa ini membuatnya berada dibawah kekuasaan Bone.
Penetrasi politik Belanda juga terjadi kerajaan Banjarmasin. Belanda pertama kali datang ke kerajaan ini pada awal abad ke-17. Mereka dengan susah payah mendapatkan izin untuk berdagang. Karena dipandang merugikan pedagang Banjar sendiri, para pedagang Belanda ini akhirnya diusir dari sana. Posisi mereka kemudian diisi oleh para pedagang asal Inggris. Namun, juga diusir dari kerajaan itu dengan alasan yang sama. Setelah pedagang Inggris meninggalkan Banjarmasin pada dasawarsa ketiga abad ke-18, Banjar didatangi lagi oleh pedagang Belanda. Mereka mendekati Sultan Tahlilillah dan pada tahun 1734, mereka berhasil mengadakan perjanjian dengan mendapatkan fasilitas perdagangan di kerajaan itu. Pada mulanya, mereka masih sangat tergantung kepada kebijaksanaan sultan. Kesempatan untuk memperbesar pengaruh balam kerajaan Banjar baru mereka peroleh ketika terjadi konflik antara Pangeran Amir dan Pangeran Nata. Pangeran Amir yang lebih disenangi rakyat tersingkir dalam persaingannya memperebutkan tahta kerajaan dengan Pangeran Nata yang mendapat bantuan Belanda. Pangeran Amir akhirnya dapat ditangkap dan dibuang ke Ceylon.
Sejak kemenangan Pangeran Nata terhadap Pangeran Amir itu, sedikit demi sedikit kekuasaan Belanda semakin besar dan kokoh. Setiap kali perjanjian yang diadakan antara Belanda dan Sultan, selalu wilayah kekuasaan Belanda semakin bertambah. Hal ini berlangsung terus dan hanya diselingi  oleh Inggris antara tahun 1811 sampai 1816 M. Seluruh wilayah kesultanan Banjarmasin, kecuali daerah Hulu Sungai, Martapura, dan Banjarmasin, sudah masuk dalam kekuasaan Belanda.
Mungkin hanya Aceh yang menikmati kemerdekaannya sampai pertengahan abad ke-19. Selain Aceh berada di kekuasaan Belanda. Usaha mengadakan perlawanan untuk memebebaskan diri dari pengaruh Belanda sebenarnya sangat banyak bagai tak pernah putus-putusnya. Akan tetapi, usaha-usaha itu selalu gagal karena beberapa sebab, diantaranya:
(1) Belanda diperlengkapi dengan organisasi dan persenjataan modern, sementara kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia masih bersifat tradisional,
(2) penduduk Indonesia sangat tergantung kepada wibawa seorang pemimpin, sehingga ketika pemimpinnya tertangkap atau terbunuh, perang atau perlawanan terhenti dengan kemenangan di pihak Belanda,
(3) tidak ada kesatuan antara kerajaan-kerajaan Islam dalam melawan Belanda,
(4) Belanda berhasil menerapkan politik adu domba, dan
(5) Banyak penduduk yang ikut memerangi rekan-rekannya sendiri.

D.    Perlawanan terhadap penjajahan belanda
 Empat perlawanan terbesar dan terlama, Perlawanan tersebut antara lain;
1.      Perang paderi di minangkabau 
Pusat kekuasaan minangkabau adalah pagaruyung, tetapi raja hanya bnerfungsi sebagai lambang. Kekuasaan sesungguhnya berada di tangan para penghulu adat, walaupun islam sudah masuk sejak abad ke-16, tetapi proses singkretisme (perpaduan) berlangsung lama. 
Pada mulanya gerakan yang dikenal dengan nama paderi ini dilakukan melalui ceramah disurau dan mesjid. Konflik terbuka dengan golongan penantang baru terajadi ketika golongan adat mengadakan pesta menyabung ayam di kampong batabuh. Pesta maksiat itu diperangi oleh golongan paderi  sejaktulah perang antara kaum pader melawan kaum adat mulai berlangsung.
Sebenarnya, banyak kaum adat yang mendukung dan berpihak kepada kaum paderi. Tantangan keras yang dihadapi paderi berasal dari keturunan raja-raja. Mereka inilah yang senantiasa menghambat gerakan tersebut. Golongan terakhir ini kemudian meminta bantuan kepada pemerintah hindia belanda yang di sambut dengan senang hati. Pada tanggal 12 februari 1921 perjanjian antara kaum adat dan kaum paderii ditandatangani. Bermulalah perang antara golngan paderi ang didukung olrh rakyat, melawan pasukan belanda yang didukung persenjataan modern dan personil terlatih.
Kaum paderi memperkuat benteng yang tangguh di bonjol, yang sekaligus berfungsi sebagai pusat pengumpulan logistic dan pembuatan senjata api. Benteng ini dipimpin oleh Muhammad syabab yang kemudian bergelar tuanku imam bonjol. 
Dalam peperanga pertama, belanda banyak mendapatkan kesulitan dan menderita kekalahan sehingga mereka harus mendatangkan bantuan dari Batavia. Karena terus mendapat kesulitan, belanda mencari cara lain dan akhirnya berhasil membujuk kaum paderi untuk berdamai pada 22 januari 1824. Selanjutnya belanda juga mendapat kesulitan, sehingga pada 15 september 1825 kembali diadakan perjanjian damai, perjanjian ini dimaksud oleh belanda untuk mengkonsentrasikan kekuatan di jawa menghadapi pangeran diponegoro. Akan tetapi penghinatan pihak belanda masih berlanjut. Hingga kaum paderi tidak lagi percaya kepada belanda dan pun belanda tak pernah menyerah untuk mengalahkan kaum paderi. Akhirnya diapun kalah. 
Walaupun paderi kalah ditangan belanda, gerakan ini berhasil memperkuat posisi agama disamping adat, terjadi asimilasi doktrin agama kedalam adat minangkabau sebagai pola perilaku ideal.
2.      Perang diponegoro
Perang diponegoro adalah perang terbesar yang dihadapi pemerintah colonial belanda di jawa. Peristiwa yang memicu peperangan adalah rencana pemerintah hindia belanda untuk membuat jalan yang menerobos tanah milik pangeran diponegoro. Dalm perang, pangeran diponegoro menggunakan taktik grilya. Peperangan segera menyebar luas kemana-mana. Kota Yogya dikepung sehingga penduduk Belanda merasa terancam. Untuk memperkuat semangat, Pangeran diponegoro dinobatkan sebagai pimpinan tertinggi jawa dengan gelar sultan ngabdul humid herucakra kabril mukminin khalifatullah ing tanah jawa. Pada tahun 1826, jalan perang menunjukkan pasang surut. Banyak korban dipihak belanda, 1827, belanda memperkuat diri dengan melakukan benteng stelsel untuk mempersempit gerak tentara pangeran diponegoro. Belanda juga mengerahkan bantuan dari negri belanda sekitar  tiga ribu orang. hingga Pihak pangeran diponegoro mulai terdesak sedikit demi sedikit. Pada tahun 1827, kiai Maja bersedia berunding dan mengadakan genjatan senjata dengan belanda.
3.      Perang Banjarmasin
pengangkatan pangeran tamjid menjadi sultan yang hingga banyak menimbulkan kekecewaan di kalangan rakyat dan para pembesar lainnya. Akibatnya timbul kericuhan di dalam wilayah kerajaan Banjarmasin. Melihat kericuhan itu, belanda kembali memasuki persoalan politik untuk mengambil keuntungan yang lebih besar, colonel Andresen sengaja didatangkan dari Batavia untuk meneliti persoalan dari dekat. Andresen berkesimpulan bahwa pangeran tamjid adalah sumber kercuhan tersebut. ia kemudian diturunkan dan ekuasaannya diambil alih oleh belanda.
Pengambilan kekuasaan itu mengalihkan penentangan kepada belanda dan saat itulah perang banjarmasin dimulai. Perlawanan rakyat terhadap belanda berkobar didaerah-daerah yang dipimpin oleh pangeran antashari yang berhasil menghimpun 300 org yang menyerbu pos-pos belanda. dia di dukung oleh pembesar-pembesar kerajaan lainnya. Pangeran hidayat sendiri berbelok kepada pangeran antasari untuk bersama-sama berperang melawan belanda.
4.       Perang aceh
            Pada awal abad ke -19, sebenarnya hegemoni kerajaan aceh di suumatra utara sudah sangat menurun, tetapi kedaulatannya masih d akui oleh Negara-negara barat. Pada tanggal 30 maret 1857 ditandatangani kontrak antara aceh dan pemerintahan Hindia Belanda angg berisi kebebasab perdagangan. 
Awal dari perang aceh yang menurut waktu dan ruang, tidak ada taranya dalam sejarah perlawanan terhadap kekuasaan colonial. Perang ini disebut juga perang rakyat karena seluruh rakyat aceh terlibat aktif melawan kolonioal.
E.     Politik islam hindia belanda
Berdasarkan analisanya, islam dapat dibagi menjadi dua bagian, yang satu islam religious, dan yang lain islam politik. Terhadap masalah agama, pemertintah belanda disarankan bersikap toleran yang dijabarkan didalam sikap netral terhadap kehidupan keagamaan. Toleransi terhadapnya merupakan suatu syrat mutlak demi ketenangan dan stabilitas.akan tetapi islam politik harus selalu dicurigai dan diteliti dari mana datangnya, terutama yang dipengaruhi gagasan pan-islam. 
Politik islam hindia Belanda adalah Mendirikan sekolah dan menyekolahkan kaum pribumi dengan terkhusus kepada kaum bangsawan. Setelah melakukan studinya barulah ditarik ke arah westernisasi. Dalam pandangan snouck hurgronje, Indonesia harus melangkah ke-arah dunia modern. Sehingga secara perlahan Indonesia menjadi bagian dari dunia modern itu. juga para lulusan sekolah ini  diharapkan menjadio partner dalam kehidupan social dan budaya HIndia Belanda.  




Berakhirnya Era Orde Baru di Indonesia membawa banyak perubahan pada tatanan sosial-politik di negara ini. Perubahan tersebut tidak lepas dari semangat untuk terlepas dari sejarah uniformalisme Orde Baru. Dipahami bersama, bahwa pemerintah Orde Baru atas nama pembangunan mengedepankan tiga stabilitas negara, yaitu stabilitas politik, ekonomi, dan keamanan. Demi mempertahankan ketiga stabilitas tersebut pemerintah Orde Baru melakukan berbagai upaya yang dampaknya pada penyeragaman berbagai aspek kehidupan bangsa, termasuk pendidikan.
Dalam dunia pendidikan,  kita melihat bahwa pemerintah Orde Baru menerapkan sistem sentralisasi (centralized system). Hal ini berimplikasi pada kewenangan mutlak pemerintah pusat dalam pengelolaan berbagai aspek pendidikan, antara lain berupa sistem pendidikan, kurikulum, sumber daya manusia, pengadaan media dan sumber belajar, hingga anggaran pendidikan. Walhasil, pemerintah daerah dan institusi pendidikan tidak memiliki ruang untuk berkreasi dan berinovasi untuk mengembangkan pendidikan di lingkungannya masing-masing.
Sistem sentralisasi dalam dunia pendidikan di Indonesia berakhir seiring dengan berakhirnya Era Orde Baru. Ini menandakan betapa pendidikan tidak bisa terlepas dari dunia politik. Era Reformasi membuka lembaran baru pengelolaan pendidikan di Indonesia. Pada Era ini, kita mengenal sistem pendidikan yang desentralistik (decentralized system). Sistem ini mengurangi kewenangan pemerintah pusat dalam pengelolaan pendidikan, dan memberikan otoritas lebih besar kepada pemerintah daerah sehingga institusi pendidikan menjadi penentu masa depan anak-anak bangsa.

BAB II
PEMBAHASAN
Menurut Kamisa (1997:445), reformasi berarti perubahan radikal untuk perbaikan dalam bidang sosial, politik atau agama dalam suatu masyarakat atau negara.
Dan menurut Nurkholis (2003:32), istilah reformasi sering dipersamakan dengan revolusi. Akan tetapi kunci pokok yang membedakan reformasi dengan revolusi adalah tidak adanya kekerasan dalam mengubah sistem dan tatanan yang sudah ada. Jadi, reformasi dijalankan secara lebih sistematis, terprogram, dan manusiawi.
Sedangkan menurut Rich (1988:2), reformasi juga berarti memperbaiki atau menyempurnakan dengan membuat sesuatu yang salah menjadi benar. Jadi, reformasi berimplikasi pada mengubah sesuatu untuk menghilangkan yang tidak sempurna menjadi lebih sempurna.[1]
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa beberapa karekteristik reformasi dalam bidang tertentu, yaitu adanya keadaan yang tidak memuaskan pada massa lalu, keinginan untuk memperbaikinya pada masa yang akan datang, adanya perubahan besar-besaran, adanya orang yang melakukan reformasi, adanya pemikiran atau ide-ide baru, adanya sistem dalam suatu institusi tertentu baik dalam skala kecil seperti sekolah maupun skala besar seperti negara.
Membicarakan otonomi pendidikan dalam kerangka otonomi daerah sama dengan membicarakan dua dunia yang berbeda tetapi tidak bisa dipisahkan. Pendidikan yang merupakan produk budaya dikaji secara bersamaan dengan otonomii daerah yang masuk wilayah dunia politik dan kekuasaan.
Pada sistem reformasi pendidikan, bahwasanya pendidikan adalah milik masyarakat,  yang mana sering menjadi bahan pertimbangan utama bagi para pemikir dan praktisi pendidikan di Indonesia untuk mencari format ideal sistem pendidikan nasional. Selain dilatarbelakangi oleh keinginan kuat memajukan pendidikan di Indonesia, juga ada rasa iri terhadap kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh penyelenggaraan pendidikan di negara-negara maju. Dari sudut pandang ini, muncul hipotesis bahwa keberhasilan pendidikan di negara-negara maju dilandasi oleh faktor penyelanggaraannya yang melibatkan seeluruh komponen masyarakat dan terlepas dari hegemoni pemerintah.
Pendidikan milik masyarakat bisa diartikan sebagai peningkatan peran seerta masyarakat untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan yang dimiiliki masing-massing. Namun demikian, pendidikan milik massyarakat juga dapat diartikan sebagai pembatasan campur tangan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan dengan melakukan desentralisasi. Jika secara politis pemerintah Indonesia berani mengambil kebijakan otonomi daerah, maka tuntutan akan adanya kebijakan otonomi pendidikan menjadi suatu keniscayaan.
Sebenarnya kebijakan tentang otonomi daerah yang berimplikasi pada otonomi pendidikan bukan bertujuan untuk memindahkan persoalan yang menjadi beban pemerintah pusat ke pundak pemerintah kabupaten atau kota. Kebijakan tersebut lebih berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan, keadilan dan penghormatan terhadap nilai-nilai budaya lokal serta menggali potensi serta keanekaragaman daerah.[2]
Reformasi pendidikan adalah upaya perbaikan pada bidang pendidikan. Reformasi pendidikan memiliki dua karakteristik dasar yaitu terprogram dan sistemik. Reformsi pendidikan yang terprogram menunjuk pada kurikulum atau program suatu institusi pendidikan.
Sedangkan reformasi sistemik berkaitan dengan adanya hubungan kewenangan dan distribusi serta alokasi sumber daya yang mengontrol sistem pendidikan secara keseluruhan.
Adapun Otonomi daerah adalah kewenangan yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan  masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Otonomi daerah di Indonesia dilaksanakan setelah gerakan reformasi 1998. Pada tahap awal pelaksanaannya, otonomi daerah di Indonesia mulai diberlakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku 1 januari 2001. Setelah diberlakukannya UU ini, terjadi perubahan yang besar terhadap struktur dan tata laksana pemerintahan di daerah-daerah di Indonesia.
Pemberlakuan sistem desentralisasi akibat pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah ini juga memberi dampak terhadap pelaksanaan manajemen pendidikan yaitu memberi  ruang gerak yang lebih luas kepada pengelolaan pendidikan untuk menemukan strategi kompetisi dalam era kompetitif mencapai output pendidikan yang berkualitas dan mandiri. Jadi reformasi pendidikan di era otonomi daerah adalah upaya perbaikan dalam bidang pendidikan yang terjadi pada masa di berlakukannya otonomi daerah yaitu tahun 1999.
Ada dua implikasi utama dari pelaksanaan otonomi daerah bidang pendidikan, yaitu penyelenggaraan pendidikan oleh daerah dan pemberlakuan kurikulum berbasis sekolah (KTSP). Dalam hal penyelenggaraan pendidikan oleh daerah, kementerian pendidikan dan kebudayaan tidak lagi memiliki kantor wilayah di provinsi dan kantor departemen di kabupaten/kota. Peran kantor wilayah dan kantor departemen diambil alih oleh dinas pendidikan yang menjadi bagian dari pemerintahan daerah. Implikasi lebih lanjut dari pemberlakuan hal ini adalah penyaluran anggaran pendidikan lewat pemerintah daerah, pengelolaan lembaga-lembaga pendidikan oleh daerah, dan pengelolaan tenaga pendidik dan tenaga pendidikan oleh daerah.
Dalam hal pemberlakuan kurikulum berbasis sekolah, yang dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pemerintah pusat memberikan sebagian besar otoritas pengembangan kurikulum kepada masing-masing lembaga pendidikan, dengan mengacu kepada peraturan-peraturan pendidikan yang berlaku. Peraturan-peraturan yang dimaksud antara lain UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam hal penyusunan kurikulum ini pemerintah pusat membuat model kurikulum KTSP dan menentukan standar kompetensi dari berbagai pelajaran yang menjadi bagian penting dari kurikulum tersebut. Selebihnya masing-masing lembaga pendidikan harus mengembangkan sendiri kurikulum mereka dengan mengembangkan materi pelajaran sesuai dengan kompetensi, menambahkan pengalaman belajar yang dianggap menjadi kekhasan daerah dan kebutuhan sekolah, serta menyusun standar kompetensi untuk pelajaran yang tidak menjadi memiliki standar nasional, seperti bahasa daerah.
Upaya menuju desentralisasi pendidikan difokuskan pada penataan kewenangan pusat dan daerah. Pemerintah pusat masih mempertahankan bentuk-bentuk kewenangan di dunia pendidikan. Hal ini terlihat jelas pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi. Adapun yang menjadi kewenangan pemerintah pusat  yaitu :
1.      Menetapkan standar kompetensi siswa
2.      Menetapkan standar materi pelajaran pokok
3.      Menetapkan persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik
4.      Menetapkan pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan
5.      Menetapkan persyaratan penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar dan mahasiswa
6.      Menetapkan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar, menengah, dan luar sekolah
7.      Mengatur dan mengembangkan pendidikan tinggi, pendidikan jarak jauh, serta mengatur sekolah internasional.[3]
Pemerintah provinsi memiliki kewenangan sebagai berikut :
1.      Menetapkan kebijakan penerimaan siswa dan mahasiswa dari masyarakat minoritas, terbelakang dan atau tidak mampu
2.      Menyediakan bantuan pengadaan buku pelajaran pokok/ modul pendidikan untuk TK, pendidkan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan luar sekolah
3.      Mendukung/membantu penyelenggaraan pendidikan tinggi, selain pengaturan kurikulum, akreditasi, dan pengangkatan tenaga akademis
4.      Pertimbangan pembukaan dan penutupan perguruan tinggi, penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai pelatihan dan/ atau penataran guru.[4]
Adapun desentralisasi pendidikan di tingkat sekolah merupakan satu bentuk desentralisasi yang langsung sampai ke ujung tombak pendidikan di lapangan. Jika lembaga dinas pendidikan kecamatan, dan dinas pendidikan kabupaten/kota lebih memiliki peran sebagai fasilitator dan koordinator proses pembinaan, pengarahan, pemantauan dan penilaian, maka sekolah perannya lebih nyata dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan.
Bentuk desentralisai pendidikan yang paling mendasar adalah dilaksanakan oleh sekolah, dengan menggunakan komite sekolah sebagai wadah pemberdayaan peran serta masyarakat, dan dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai proses pelaksanaan layanan pendidikan secara nyata di dalam masyarakat.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004, dalam rangka pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat perlu dibentuk Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten/kota, dan Komite Sekolah di tingkat satuan pendidikian, baik di tingkat kabupaten/kota ataupun sekolah.[5]
Amanat undang-undang tersebut telah ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. dalam keputusan tersebut dengan jelas disebutkan bahwa peran yang harus diemban Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah adalah :
1.      Sebagai pemberi pertimbangan
2.      Pendukung kegiatan layanan pendidikan
3.      Pemantau kegiatan layanan pendidikan
4.      Mediator atau penghubung tali komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah.
Beberapa urusan dalam bidang pendidikan yang secara langsung dapat diserahkan kepada sekolah adalah sebagai berikut :
1.      Menetapkan  visi, misi, strategi, tujuan, logo, lagu, dan tata tertib sekolah
2.      Memiliki kewenangan dalam penerimaan siswa baru sesuai dengan ruang kelas yang tersedia, fasilitas yang ada, jumlah guru, dan tenaga admistratif yang dimiliki.
3.      Menetapkan kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang diadakan dan dilaksanakn oleh sekolah.
4.      Pengadaan sarana dan prasarana pendidikan, termasuk buku pelajaran dengan memperhatikan standar dan ketentuan yang ada.
5.      Proses pengajaran dan pembelajaran. Ini merupakan kewenangan professional sejati yang dimiliki oleh lembaga pendidikan sekolah.[6]
Desentralisasi pendidikan dilatarbelakangi oleh tiga motif, yaitu motif politis, motif pembiayaan (pendanaan) dan motif efisiensi.  Adapun  tujuan desentralisasi pendidikan adalah :
1)      Mengembangkan pendidikan itu sendiri secara langsung,
2)      Mengembangkan pelaksanaan sistem pendidkan,
3)      Mengubah sumber dan jumlah dana yang disediakan untuk pendidikan,
4)      Memberikan keuntungan pada pemerintah pusat, dan
5)      Memberikan keuntungan pada pemerintah daerah.
Jadi, desentralisasi pendidikan merupakan proses yang relatif kompleks, karena berhadapan dengan perubahan dalam cara sistem persekolahan melakukan pembuatan kebijakan, menggali dan memperoleh penerimaan dan penggunaan dana, melatih guru, mengembangkan kurikulum dan mengelola sekolah di daerah. Desentralisasi pendidikan bukanlah tujuan akhir, melainkan suatu alat yang penting untuk membangun dan meningkatkan mutu pendidikan.  
Sejak di gulirkan nya UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang berlaku 1 januari 2001 dan di amandemen UU No.32 tahun 2004, wacana desentralisasikan pemerintah ramai di kaji. Pendididkan termasuk bidang yang di desentralisasikan ke pemerintah kota/kabupaten.  Melalui desentralisasi pendidikan di harapkan permasalahan pokok pendidikan, yaitu maslah mutu, pemerataan, relevansi, evisiensi dan menejemen dapat terpecahkan.[7]
     Berbagi setudi tentang desentralisasi menunjukan bahwa pekerjaan bersifat kompleks, di kerjakan dalam tim, mengandung unsur ketidak pastian, dan berada pada lingungan  yang cepat  berubah tidak bisa dikelola secra sentralistik. Sekolah yang mempunyai karakteristik seprti itu harus di desentralisasikan. Salah satu meetode desentralisasi pendidikan adalah MBS
Menrut tilaar krisis pendidikan yang dialami olehindonesia  ini berkisar pada krisis menejemen. Menurut nya di rumuskan secara sederhana pada sebagai mobilisasi segala sumberdaya pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang di tetapkan.
     Mnurutt  wholsteer dann mohroman ada empat sumberdaya yang harus di desentralisasikan, di mana kesemuaan nya pada hakikat nya merupakan inti dan isi MBS. Yaitu power/authority, knowledge, information, dan reward. Keempatnya tidak bisa di pisahkan.
Model MBS di Indonesia disebut Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). MPMBS dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, fleksibilitas kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku (Nurkolis, 2003:107, lih. juga Depdiknas, 2002:3). MPMBS merupakan bagian dari manajemen berbasis sekolah (MBS). Jika MBS bertujuan untuk meningkatkan semua kinerja sekolah (efektivitas, kualitas/mutu, efisiensi, inovasi, relevansi dan pemerataan serta akses pendidikan), maka MPMBS lebih difokuskan pada peningkatan mutu (Depdiknas, 2002:3-4).   Otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Sedangkan pengambilan keputusan partisipatif adalah cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik di mana warga sekolah didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah. Sehingga diharapkan sekolah akan menjadi mandiri dengan ciri-ciri sebagai berikut : tingkat kemandirian tinggi, adaptif, antisipatif, dan proaktif, memiliki jiwa kewirausahawan yang tinggi, bertanggung-jawab terhadap kinerja sekolah, memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber dayanya, memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja, komitmen  yang tinggi pada dirinya dan prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya.    Tujuan MPMBS adalah memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan (Depdiknas,2002:4). 


























Reformasi berarti perubahan radikal untuk perbaikan dalam bidang sosial, politik atau agama di dalam suatu masyarakat atau Negara.  Adapun reformasi pendidikan adalah upaya perbaikan pada bidang pendidikan.
Adapun Otonomi daerah adalah kewenangan yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan  masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Rerormasi pendidikan di era otonomi daerah adalah upaya perbaikan dalam bidang pendidikan yang terjadi pada masa di berlakukannya otonomi daerah yaitu tahun 1999. implikasi utamanya yaitu penyelenggaraan pendidikan oleh daerah dan pemberlakuan kurikulum berbasis sekolah (KTSP). Ini berarti terdapat pembagian kewenangan antara penerintah pusat dan daerah dan sekolah memiliki peranan yang lebih nyata dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan bidang pendidikan.
Adapun salah satu bentuk dari reformasi pendidikan adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).















.
Kadi. Otonomi Pendidikan di Era Otonomi Daerah, Ponorogo: STAIN PO press, 2009.
Mulyasa, E. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep Strategi, dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002.
Salim Agus.Indonesia Belajarlah! Membangun Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007.
Sam  M. Chan dan  Tuti T. Sam. Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: Rajawali Pers, 2005.
Zainuddin. Reformasi Pendidikan, Yogyakarta: CV.Pustaka Pelajar, 2008.


[1] Zainuddin, Reformasi Pendidikan (Yogyakarta: CV.Pustaka Pelajar), hal.30.
[2] Kadi, Otonomi Pendidikan di Era Otonomi Daerah, (Ponorogo: STAIN PO press), hal.1.

[3] PP No. 25 Tahun 2000 pada E. Mulyasa. Manajemen Berbasis Sekolah.  2002. Hlm. 194-214.
[4] Agus Salim, Indonesia Belajarlah! Membangun Pendidikan Indonesia, 2007, (Yogyakarta: Tiara Wacana, Cetakan ke 2), hlm. 270.
[5] Sam  M. Chan dan  Tuti T. Sam, Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, 2005, (Jakarta: Rajawali Pers). Cetakan ke 1, hlm. 7.
[6] Agus Salim, Indonesia Belajarlah! Membangun Pendidikan Indonesia, 2007, (Yogyakarta: Tiara Wacana), Cetakan ke 2, hlm. 271-274.
[7] Zainuddin, Reformasi Pendidikan (Yogyakarta: CV.Pustaka Pelajar), hal 55.